Idul Fitri 1446 H

Tarik Dana dan Hengkang Dari BSI, Muhammadiyah Merajuk?

$rows[judul]

Oleh:

Syahrul E. Dasopang (Pengamat dan Pemerhati Sosial Islam) 

SEBAGAIMANA memo resmi yang beredar luas, Muhammadiyah memutuskan migrasi simpanan dananya di BSI dan akan dialihkan ke sejumlah Bank Syariah lainnya seperti Bank Mega Syariah, Bank Syariah Bukopin, Bank Muamalat dan lain-lain. Dana yang tidak enteng, sejumlah 13 triliun lebih di BSI ini, telah menyibak realitas kekuatan finansial Muhammadiyah dan dimensi politis yang menyelimutinya.

Aksi penarikan dana jumbo ini telah membuat pihak BSI gagap dan gugup sehingga tidak menyatakan sikap sepeser pun. Aksi ini secara psikologis telah mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas BSI. BSI sejatinya diproyeksikan menjadi kampiun dan panutan gerakan Bank Syariah di Indonesia, tetapi dengan aksi Muhammadiyah ini, proyeksi tersebut mendapat tantangan dan hadangan di depan. Aksi yang mirip rush money ini, telah membuat dua pihak, baik BSI maupun Muhammadiyah, berada dalam jarak tembak pertanyaan sangsi dari masyarakat. Ada apa dengan hubungan Muhammadiyah dengan BSI sehingga Muhammadiyah demikian hebat "merajuknya"?

Jika menganalisa memo Muhammadiyah yang beredar, setidaknya ada 6 unsur yang perlu diperhatikan dengan seksama, yaitu:

Judul Memo: Konsolidasi Dana

Pejabat Penandatangan: Dr. Agung Danarto (Ketua) dan Muhammad Sayuti, Ph.D

Dasar Memo: Pertemuan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM)

Tempat & Waktu: Yogyakarta, 26 Mei 2024

Tema: Konsolidasi Keuangan di Lingkungan AUM

Kesimpulan dan Tindakan Lanjutan: Rasionalisasi dana simpanan dan pembiayaan di BSI dengan pengalihan ke Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat, Bank-bank Syariah Daerah dan bank-bank lain yang selama ini BEKERJASAMA BAIK dengan Muhammadiyah.

Mencermati memo tersebut, terdapat kesan hubungan yang tidak baik antara Muhammadiyah dengan BSI. Dan itu ditegaskan dengan unsur kesimpulan dan tindakan lanjutan yang tercermin dari redaksi "yang selama ini bekerjasama baik", seolah menegaskan bahwa BSI tidak melakukan kerjasama baik dengan Muhammadiyah.

Tapi pertanyaannya, betulkah demikian, atau hanya perasaan subjektif dari elit-elit Muhammadiyah yang merasa dirugikan dari hubungan mereka dengan BSI. Dan kerugian apa sebenarnya yang dialami? Hal ini penting diungkapkan dengan jujur supaya kelembagaan Muhammadiyah tidak mengalami risiko atas hal tersebut.

Rasanya sulit ditutupi, tindakan yang tidak biasa dan menimbulkan goncangan ini, yang diambil dari sebuah keputusan setingkat pertemuan antara PP dan AUM, menimbulkan pertanyaan "ada apa sebenarnya? Seberapa urgen dan genting sebenarnya sehingga harus menarik dana simpanan sedahsyat itu?"

Yang kita takutkan bila aksi yang sejauh ini dipersepsikan publik heroik ini, ternyata jauh dari heroik? Karena sudah mulai ada desas-desus, tindakan itu hanya dilatari oleh komposisi komisaris BSI yang tidak mengokomodir orang PP, kebanyakan unsur NU dan salah satu komisaris dari pihak Parpol tertentu yang tadinya tidak bersyariah secara kode busana.

Saya kira, Muhammadiyah dapat menepis desas-desus itu dengan kematangan pengalamannya. Tapi agak sulit merasionalisasi tindakan tersebut didedikasikan untuk perngembangan gerakan keuangan syariah di tengah dua momentum yang paling signifikan: peralihan rezim dari Jokowi ke rezim Prabowo dan makin tingginya penetrasi NU dalam rezim, baik rezim Jokowi maupun rezim yang akan datang. Manuver-manuver politik NU dalam merebut pengaruh harus diakui lebih berani dan lincah ketimbang Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah mengesankan diri berada di barisan AMIN, NU dengan tegas berdiri bersama Prabowo - Gibran. Ketika PDIP berseberangan dengan Jokowi, tiba-tiba anak organisasi NU, Ansor, pasang badan untuk Jokowi. Ketika ormas-ormas keagamaan gamang menentukan sikap atas sodoran konsesi tambang, NU cepat-cepar nomor satu untuk mendapatkan konsesi tambang, yang semua tindakan politik NU tersebut benar-benar menguntungkan legitimasi pemerintah.

Bagaimana pun nuansa persaingan dua ormas ini, senantiasa bergelayut dan berpengaruh dalam dinamika Muhammadiyah. Saya tidak ingin lebih jauh berpikir bahwa tindakan ini juga bermakna politis dan sebentuk pengiriman "kode morse" agar jangan sekali-kali meninggalkan Muhammadiyah.

Sebab memang saat ini, setelah kemenangan Prabowo yang diendorse oleh Jokowi, Muhammadiyah berada dalam kegamangan dibandingkan dengan NU yang sejak awal tegas mendukung Prabowo.

Tapi satu hal di balik peristiwa ini, ternyata Muhammadiyah punya kekuatan finansial riil yang tidak main-main. Tapi kenapa cuma disimpan begitu saja, ya? Kenapa tidak dioptimalkan untuk membasmi kemiskinan yang menjadi ujian berat bagi sebagian besar umat hingga hari ini? Bukankah tidak baik membiarkan dana mengendap sebegitu besar? Ala kulli hal, artikel ini hendaknya dimaknai sebentuk kecintaan terhadap ormas yang didirikan oleh ulama ikhlas, KH. Ahmad Dahlan ini. Wallahua'alam bishshawab.

~ SED

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)