Mengawal Putusan MK, Luapan Kemuakan Rakyat dan Alternatif Ke Depan

$rows[judul]

Oleh: Syahrul E. Dasopang

Cibolek, Putusan MK tentang kelonggaran syarat pencalonan kepala daerah, dipandang memberi harapan dan angin segar bagi demokrasi (supremasi dan kedaulatan rakyat). Sehingga banyak orang bersuka cita merayakannya. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena latar belakang dua hal: pertama, tren penguasa yang ingin memonopoli kekuasaan dari berbagai tingkatan, sehingga menggencet demokrasi atau kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Dan cara memonopoli kekuasaan tersebut pun, terlihat tidak wajar, kurang beradab dan kasar. Kedua, gejala Jokowi yang makin agresif untuk menempatkan anggota keluarga dan kroni-kroninya di setiap pos-pos kekuasaan, termasuk Partai Golkar saat ini, yang tanpa rasa malu dan segan pada mata rakyat. 

Sebenarnya tren Jokowi yang mengangkangi demokrasi sudah berjalan lama, jauh sebelum Gibran dikarbit sedemikian rupa. Dan tren mengangkangi demokrasi ini tidak hanya monopoli kelakuan Jokowi, tapi juga menjangkiti elit-elit politik dan ekonomi negeri ini. Tidak perlu sebut nama di sini. Kenyataan ini, membuat rakyat kebanyakan terheran-heran, geram, marah dan dendam. Sebab rakyat tahu bahwa Indonesia ini didirikan sebagai Re-Publik, bukan dinasti apalagi monarki.

Selagi orang baru saja menikmati dan mengkalkulasi harapan yang dihadiahkan oleh MK, tiba-tiba dengan gesitnya DPR beraksi menganulirnya. Selangkah tindakan anulir terhadap putusan MK, yaitu di tingkat rapat Badan Legislatif (Baleg), sudah terjadi. Luar biasa kilat. Hanya tinggal rapat paripurna. Kalau nanti rapat paripurna, menang kepentingan para penindas demokrasi, maka angin segar yang dipersembahkan MK tadi bukan saja hilang, namun akan menjadi preseden bahwa keputusan MK bukanlah suatu keputusan final seperti yang diakuri dan ditunjukkan selama ini.

Menyaksikan kejadian yang agak gila ini, tentu saja rakyat marah. Para aktivis demokrasi, akademisi yang masih sehat pikirannya hingga mahasiswa dan silent peoples,  bergerak cepat menghadang gerak cepat penguasa yang tidak kunjung jera menekuk sendi-sendi rakyat. Hari ini, 22 Agustus 2024 hingga entah berapa lama ke depan, dipastikan gejolak rakyat akan meluap tumpah ke jalan menekan penguasa kemaruk.

Luapan perasaan rakyat ini, bukan semata-mata ditujukan untuk menolong PDIP dan Anies Baswedan yang dipaksa tergembok sehingga hampir gagal menikmati hak politiknya untuk mencalonkan diri ataupun dipilih. Sesungguhnya luapan kejengkelan rakyat ini sudah agak lama terpendam dan makin muak dengan makin agresifnya ketamakan Jokowi untuk menguasai negeri milik semua rakyat ini. Sekarang rupanya menjadi momentum meluapkan dendam rakyat-rakyat yang dipaksa hanya menonton drama politik yang paling kotor.

Kalau penguasa dan elit-elit politik mampu mengkompensasi penindasan mereka terhadap demokrasi dengan membuat jarak ketimpangan ekonomi makin pendek dan harapan untuk makmur makin nyata, bisa jadi rakyat masih menahan diri. Sekarang tidak. Yang kaya makin super kaya dan mengerucut, yang miskin makin miskin dan makin banyak jumlahnya pula dan terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Yang kaya dimanja dan diakomodasi segala fasilitas dan hak-hak istimewanya, yang miskin makin dieksploitasi dan dijadikan peternakan suara semata. Siapa yang tidak geram dan dendam dengan situasi semacam ini? Hanya kroni dan famili elit-elit yang berkuasa yang tidak memahami hal ini, dan kalau pun paham hanya bisa nyengir kuda dan masa bodoh dengan situasi.

Jika momentum tumpahnya rakyat memprotes atas hendak dilumpuhkannya putusan MK ini, saya sarankan jangan hanya berhenti di situ. Jangan hanya mengawal putusan MK. Momentum ini harus menjadi konsolidasi rakyat-rakyat yang terabaikan secara ekonomi dan politik selama ini guna memastikan kepentingan dan tujuan kolektif mereka tercapai. Apa itu?

Memaksa dan menegosiasikan kepada pemerintahan baru ke depan, supaya dipastikan bahw rakyat di bawah bisa menikmati pemerataan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih mudah dijangkau. Tidak seperti sekarang, harus jungkir balik, berjibaku dan menjilat serta mengorbankan etika dan moral dulu untuk bisa bertahan hidup.

Segeralah bentuk semacam gabungan aksi rakyat non partai yang lebih teratur dan terkonsolidir sebagai alternatif terhadap partai-partai yang agaknya sudah banyak yang gagal sebagai advokat dan pengawal suara dan aspirasi rakyat. Kesannya, partai hanya sekedar tunggangan para elit untuk meraih lebih mudah akses-akses politik dan ekonomi sehingga yang kaya hanyalah elit-elit partai dan kroninya.

Gabungan aksi rakyat ini hendaknya dapat menjadi kontra terhadap kecenderungan korup seperti yang menggejala sekarang ini.

Kalau hanya sekedar untuk memberi jalan bagi PDIP dan Anies Baswedan untuk dapat kembali menikmati kesempatan politik mereka, agaknya kurang memuaskan dan akan berakhir tidak bermanfaat banyak bagi rakyat-rakyat yang terkunci secara politik selama ini. Tapi jika implikasi aksi kemarahan rakyat hari ini dan ke depan memuluskan jalan bagi PDIP, Airin, Anies Baswedan dan lain sebagainya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, ya tidak masalah. Biarkan saja, asalkan jangan melupakan pengorbanan rakyat. 

*~Bhre Wira*

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)