Oleh: Syahrul E. Dasopang (Pengamat dan Pemerhati Budaya Melayu Nusantara)
MEMANG menarik kita hidup di zaman melubernya informasi dari berbagai penjuru. Bukan hanya itu, saluran informasi juga sangat beragam. Mulai dari yang monopolis dan kolot seperti media konvensional hingga media sosial yang kadang lebih up to date, langsung dan segar. Sumber informasi juga kaya. Mulai dari sumber primer, sekunder, tangan pertama, hingga tangan ketiga. Akibatnya positif, informasi dapat kita himpun, bandingkan, seleksi, verifikasi dan simpulkan dengan lebih baik dari hanya di zaman lampau yang amat dimonopoli oleh pihak pertama penyebar informasi. Masalahnya memang, tidak semua orang dapat melakukan metode seleksi informasi karena ketidakmahiran dalam kerja-kerja jurnalistik dan penelitian. Orang lebih banyak melakukan penyebaran konten secara naif dan tanpa suatu pertanyaan pra penyebaran: apakah informasi ini benar? Apakah ada yang janggal dan aneh dari isi dan bentuk informasi ini?
Pada lazimnya, orang awam jarang melakukan cara seperti itu ketika menerima suatu informasi yang merangsang impulsif pada kinerja akal mereka. Sehingga akibatnya banyak di antara netizen atau orang-orang awam termakan perangkap propoganda dan racun informasi yang tidak benar. Dalam tingkat lebih lanjut, informasi yang bersifat propoganda dan agitasi, dapat merangsang emosi kemarahan, sikap yang mulai kehilangan kewarasan, hingga tindakan pelampiasan emosi yang sebenarnya itulah yang diinginkan seorang perancang propoganda untuk menggiring penerima informasi ke dalam "kotak mental" yang sudah disiapkan oleh si perancang propoganda untuk dapat dijebak, dikuasai, dieksploitasi dan dimanipulasi.
Saat makin moncernya saluran media sosial seperti WA, Tiktok, FB, Twitter, IG, Telegram, YouTube, dsb, sebagai wadah paling populer untuk menerima, mengambil, memperdebatkan, dan men-share dan membumbui informasi atau konten, maka aneka gaya propoganda juga makin deras menyerbu kanal-kanal media sosial kita. Satu topik yang menurut pencermatan saya paling kuat dan konsisten dalam kategori perang propoganda lewat media sosial saat ini di Indonesia ialah isu para Habaib yang diframing dan dikonstruksikan sebagai keturunan yang tidak mempunyai bukti valid sebagai bagian dari keturunan Rasulullah dari jalur Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw atau Husain bin Ali bin Abu Thalib. Konsekwensi bila propoganda ini menang dalam pertarungan arena media sosial, mengakibatkan kerugian sosial politik dan budaya bagi para Habaib yang sudah lama diterima sebagai bagian yang wajar dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan jika para propogandis media sosial anti habaib ini mendulang kemenangan pengakuan dari publik, maka para habaib akan menghadapi delegitimasi dan desosialisasi secara tradisi keagamaan dari masyarakat.
Saya melihat konsekwensi yang tidak sederhana dan mungkin akan berkembang multi implikasi dari perang propoganda media sosial ini. Di antara konsekwensi yang tengah berlangsung ialah goyangnya hubungan psikologis antara sesama NU. Maka jelas propoganda ini telah berhasil mencapai targetnya dan membawa komunitas NU ke dalam "kotak mental" yang telah disediakan.
Memang adalah aneh, mengapa para elit NU seolah membiarkan propoganda ini berlarut tanpa suatu ekskusi yang menghentikan atau mengakhiri isu secara damai dengan klimaks konsensus yang meredakan. Apakah isu ini memang ditargetkan dengan klimaks perskusi dan bentrokan massa sehingga memungkinkan bagi negara untuk turun ambil bagian mengakhiri percekcokan yang tidak mengenakkan ini.
Tentang desosialisasi yang merupakan bentuk perang sosial untuk memaksa pihak musuh menanggalkan sendiri atribut dan identitas sosialnya sesuai keinginan si pemenang telah pernah terjadi di masa keruntuhan komunisme setelah Orde Baru menang. Para anggota komunis dipaksa oleh keadaan untuk beralih (konversi keyakinan) menjadi Katolik di antara yang terbanyak, dan penganut yang saleh sebagai Kristen dan Islam, dalam rangka menghapus citra mereka sebagai anti agama. Artinya preseden ini pernah terjadi dan sepatutnya kita mencermati.
Tulis Komentar